Ini
bukan masalah sepakat atau tidak sepakat, setuju atau tidak setuju, benar atau
salah, dlsb, tapi ini masalah mengenai kemurnian seorang kader dalam mengemban
jabatan struktural Pengurus Besar
Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), sehanif apa ia dan seetis apa ia dalam
menunjukan pola lakunya sebagai bagian dari organisasi perkaderan, bisa
tergambar dari caranya berHMI.
Beberapa
hari terakhir media massa online memberitakan perihal pengajuan mosi tidak
percaya oleh beberapa fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam
terhadap Ketua Umumnya Muhammad Arief Rosyid, entah motif apa dibalik pengajuan
mosi tersebut, yang jelas kita sebagai bagian dari Himpunan Mahasiswa Islam
agak menyayangkan tindakan yang dilakukan oleh Fungsionaris Pengurus Besar
Himpunan Mahasiswa Islam tersebut.
Siapapun
dia, selama dia adalah kader HMI maka hal yang paling prinsipil yang tertanam
dalam benaknya adalah “menjaga integritas himpunan demi dan untuk membangkitkan
(kembali) peran dan fungsi dari HMI”, ini adalah hal paling mendasar jauh
sebelum kita bicara mengenai tujuan organisasi dan hal ikhwal mengenai program-program keumatan dan kebangsaan
sebagai manifestasi dari Harapan Masyarakat Indonesia.
Bahwasanya
sebuah pergerakan organisasi, baik berjalan dan majunya tergantung pada
persatuan anggota organisasinya yang notabene adalah motor penggerak primer,
jika persatuan menjadi nyata maka segala bentuk ekspektasi dari konstitusi bisa
menjadi keniscayaan, dengan kata lain perwujudan masyarakat adil makmur yang
diridhoi Allah SWT bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan.
Kita
tahu bersama tantangan HMI saat ini semakin kompleks, dengan dinamika zaman
yang semakin maju, kendati sebenarnya kemajuan zaman adalah kemunduran yang
diperhalus, yang jelas spirit keHMIan tak boleh redup hanya karena kuatnnya
tiupan bargaining dan deal-deal politik, seorang kader HMI harus amanah dan
secara organisatoris berada dalam koridor HMI yang ia emban. Saat ini HMI
kembali terpecah, yang pertama dipimpin oleh Muhammad Arif Rosyid, dan yang
kedua dipimpin oleh Adi Baikuni. Entah yang mana yang konstitusional, yang
jelas keduanya memiliki dalil-dalil yang kuat dalam mempertahankan
argumentasinya. dan tujuan tulisan ini bukan untuk menyoroti mengenai dualisme
tersebut.
Dengan
pecahnya Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam menjadi dua kubu saja kiranya
sudah menjadi bahan evaluasi diri kita sebagai kader HMI, apa yang salah dengan
diri kita? Kenapa harus (kembali) terpecah? Kalau sudah begini, lantas apa yang
harus kita lakukan demi mempertahankan eksistensi HMI dari gempuran zaman yang
maha dahsyat ini?
Seperti
yang saya sudah katakan sebelumnya bahwa penekanan akan persatuan seluruh kader
adalah hal yang paling prinsipil dalam mengawal gerak langkah kita menjaga
himpunan, langkah-langkah rekonsiliatif adalah salah satu bentuk kecintaan kita
terhadap HMI, sebab dengan kokoh dan besarnya sebuah organisasi maka daya
magnetisnya dalam domain perekrutan kader bukanlah hal yang sulit, bahkan
mahasiswalah yang merekrut diri merekas sendiri untuk berorganisasi dalam HMI.
Kita
sebagai bagian dari HMI tidak akan rela citra organisasi kita semakin tercoreng
oleh kader HMI sendiri, apalagi dengan tindakan fungsionaris PB HMI yang
melakukan mosi tidak percaya, itu malah semakin meruntuhkan kredibilitas PB HMI
bahkan bisa berimplikasi pada kinerja cabang, terutama komisariat yang notabene
adalah jantung HMI.
Sangat
disayangkan jika hal-hal yang bersifat privat seperti konflik internal dalam
satu kubu PB HMI dijadikan sebagai obyek konsumsi publik, karena dampak negatif
dari pemberitaan media massa bisa menjadi bumerang, berita yang bisa diakses
oleh siapapun sebaliknya malah mengakibatkan HMI yang adalah sebagai organisasi
mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia menjadi memudar dan tak lagi
dipandang oleh publik.
PB
HMI harus lebih arif dan bijaksana dalam mengambil tindakan, jangan asal
bertindak namun tak memikirkan dampak bagi kita yang berada di
cabang-komisariat, citra buruk HMI akan menjadi keberatan bagi mahasiswa saat
diajak untuk berHMI. Ya, bahwasanya implementasi HMI sebagai organisasi
perkaderan akan semakin sukar untuk survive jika HMI kian hari tak mampu
memberikan makna positif bagi kehidupan berbangsa, khususnya kemahasiswaan
sebagaimana yang telah termakhtub secara eksplisit dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) HMI.
Maka
dari itu PB HMI sebagai eksekutor tertinggi dalam HMI harus lebih dewasa dalam
bersikap, jangan terlalu mudah terpropaganda oleh kekuasaan lantas terjerembab
dalam jurang politicking absurd. Ingat, HMI adalah organisasi
perjuangan, bukan peruangan. HMI adalah organisasi perkaderan, bukan
perkederan!
Ramadhan Denis
0 komentar:
Post a Comment