Oleh:
Muhammad Fathor Rozi
Sang Pengembala Cinta
Sejak dulu sampai sekarang
mahasiswa sering diidentikkan dengan wacana intelektualnya yang tinggi. Yang
dengan kelebihannya itu dia mempunyai peran untuk senantiasa melakukan
perbaikan terhadap tatanan social yang ada. Sejalan dengan itu maka sebagai
akademisi kita harus menjunjung tinggi budaya menulis. dari situlah kita bias
dikatakan mempunyai kapasitas intelektual yang diwujudkan dengan mahir dalam tulis-menulis.
Namun di era yang serba ada ini,
menulis tidak menjadi penting lagi bagi mahasiswa. Menulis hanyalah kegiatan
yang terjadi di tempat perkuliahan ketika mendapati tugas untuk membuat
makalah, atau laporan. Agaknya ini menjadi problematika berfikir yang
menjadikan mereka menjadi mesin robot yang hanya bertindak ketika disuruh.
Kebanyakan mahasiswa belum tahu akan pentingnya menulis bagi kehidupan yang
akan datang. Saya boleh memprediksikan bahwa di era yang akan datang para
jurnalis atau media akan menjadi tombak utama disetiap tatanan masyarakat.
Pengaruh media akan besar dalam membentuk paradigm bangsa.
Menulis juga bukan kegiatan untuk
menyibukkan diri untuk bekerja. Namun juga berfungsi sebagai media untuk
mengeluarkan ide dan gagasan sebagai wujud kepekaan terhadap lingkungan. Kita
juga melatih otak kita untuk senantiasa berfikir dalam menelurkan pendapat
dalam tulisan. Karena tidak semua orang mampu untuk menuliskan ide-idenya ke
dalam tulisan nyata. Acapkali kita hanya merenungkan dan memendam segala isi
yang ada dihati dan pikiran kita. Hal itu malah menjadikan kita stress dan
pelupa karena memori pikiran kita gak muat.
Dulu memang saya berfikir bahwa
menulis itu tidak penting, yang penting adalah mampu berbicara. Ternyata saya
salah karena menulis menjadi bagian yang selalu ada di dalam hidup kita. Entah
itu menulis curahan hati, cerpen, dan karya ilmiah. Karena di dalam perkuliahan
kita juga dituntut untuk senantiasa menulis. Namun Sering kali kesulitan untuk
menulis karya ilmiah karena tak terbiasa menulis. Dari situlah saya mencoba
menulis dan menulis dengan kadar potensi yang rendah. Namun prinsip yang saya
anut adalah bahwa menulis itu bukan suatu bakat, tapi kegiatan yang dapat
dilatih sehingga kita mampu melakukannya.
Sering kali ada anggapan bahwa
untuk menjadi seorang penulis tidak cukup hanya berbekal pengetahuan dan
latihan. Kemampuan menulis adalah bakat alamiah yang hanya dimiliki oleh
segelintir orang istimewa saja. Shakespeare, Faulkner, Chekov, dan Gibran
misalnya, adalah beberapa nama yang menjadi penulis besar karena anugerah bakat
alam yang mereka miliki. Atau dengan kata lain kemampuan menulis adalah
kemampuan yang sudah ditetapkan dan tidak bisa diubah.
Namun berbeda asumsi dengan
Stefent king yang menulis dalam bukunya yang berjudul “On Writing: A Memoir of
The Craft” menyatakan bahwa: bekal sebagai penulis memang sudah ada dalam diri
seorang penulis. Namun, bekal itu tidaklah istimewa. Banyak orang yang punya
bakat sebagai penulis dan bakat-bakat itu dapat diperkuat dan dipertajam dengan
membaca dan terus menerus mencoba menulis. Dan, untuk itu kita hanya harus
melakukan dua hal: banyak membaca dan banyak menulis. pernyataan stefent king
itu sudah secara jelas bahwa kita semua bias jadi penulis hanya dengan usaha
yang gigih untuk terus berlatih.
Ada pula sebuah pernyataan dari
Dr. Benny Giay yaitu: “Jadi dengan menulis ini membuka kebiasaan kita untuk
menghilangkan kebiasaan budaya bisu dan kebiasaan kita diam, “. Selaras dengan
itu john Robert powers juga menyatakan bahwa: “… salah satu cara untuk menambah
wawasan kita adalah dengan banyak membaca. Sebenarnya hampir semua orang
mengerti pentingnya membaca, tetapi mereka tidak ingin menjadikan membaca
sebagai salah satu hobi mereka dalam proses pengembangan dirinya,”. Dari dua pernyataan
itu tadi membaca dan menulis bisa dianalogikan seperti sepuntung rokok dan
korek apinya yang saling melengkapi.
Oleh sebab itu, membaca menjadi
proses pencarian ide yang produktif untuk menulis. kita tidak akan menampilkan
sesuatu kalau kita tidak punya sesuatu itu. Setiap orang yang akan menulis
pasti mereka akan mencari bahan untuk tulisannya salah satunya dengan cara
membaca. Dengan membaca hasil yang akan ditampilkan akan menarik dan lebih
baru. Namun bias juga tidak membaca kita bias menulis tapi hasilnya agaknya
kurang bagus.
Maka kita harus senantiasa
membudayakan diri untuk menulis, karena tulisan anda nanti akan berarti bagi
anak cucu kita nanti. Buatlah sejarah yang membanggakan untuk cucu kita. Apa
kita hanya berbuat untuk kehidupan kita sendiri tanpa memikirkan yang lain. Itu
adalah egoisitas diri yang menjadi momok besar bagi kalangan mahasiswa.
Kemudian semangat menulis aka nada dikala kita sering membaca. Menulis dan
membaca menjadi point utama menuju kesuksesan.
0 komentar:
Post a Comment