Pages

Monday, February 11, 2013

Menyoal Moralitas Politisi vs Intelektual

Jika membaca data Mendagri dari 2004 hingga 2012 Sebanyak 173 kepala daerah di Indonesia, terbelit kasus hukum, khususnya korupsi. Dari jumlah itu sekira 70 persen di antaranya yang telah diputus pengadilan dan sudah harus diberhentikan. Belum lagi banyaknya politisi yanng secara moralitas patut dipertanyakan. Kasus Aceng Fikri adalah sebagian kecil dari puncak gunung es. Sebelumnya anggota dewan dari PKS yang mengundurkan diri setelah ketahuan membuka situs porno ketika sedang rapat. Apakah separah ini moralitas para politisi di negeri ini dan kasus yang paling menggemparkan masih dari partai dakwah PKS yang tertangkap tangan oleh KPK dengan dugaan penyuapan?.

Sementara apa itu intelektual? Dan apa pungsinya dalam masyarakat? Bagi Edward Said seorang Intelektual adalah "pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa." Seorang intelektual mengatakan yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan pikiran-pikiran penguasa. Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang harus dikatakan tetapi menghindari mengatakannya. Hidup seorang intelektual pada hakekatnya adalah mengenai pengetahuan dan kebebasan. Pertanyaan dasarnya yang diajukan adalah. Bagaimana orang mengatakan kebenaran? kebenaran apa? bagi siapa dan dimana? Karena keterlibatan dengan kebenaran sejatinya tidak menjual diri terhadap siapapun.

Namun yang menjadi masalah adalah ketika seorang intelektual telah melakukan transaksi dengan politik. Di mana kebenaran menjadi bias. Sebagai contoh banyak sekali sekarang yang mengklaim diri melakukan kerja-kerja ilmiah di mana data yang menjadi acuannya adalah data hasil survei. Namun dalam kenyataannya banyak sekali lembaga riset yang keluar dari kaidah-kaidah kejujuran dalam mentransportasi data. Bagaimana tidak sekarang lembaga survei merangkap jadi juru rias para caleg atau partai aksi para lembaga tersebut tidak hanya mengarahkan opini dan menggiring opini agar calon tertentu menang namun dengan begitu dengan sendirinya lembaga tersebut telah menjadi tidak jujur dan menodai kredibilitas lembaga survei. Dimana lembaga yang mengklaim dirinya ilmiah sejatinya memberikan arahan dan bimbingan bagi publik dalam menentukan pilihan. Bagaimanakah moralitas intelektual mereka jika nilai-nilai kejujuran saja mereka abaikan?

Jika membaca buku karya Paul Jhonson seorang jurnalis dan sejarawan kristen dalam bukunya Intellectual yang terbit pertama kali pada 1988 buki ini mengupas sisi gelap kehidupan para intelektual dunia yang pemikiranya diikuti, dianut bahkan dipuja oleh banyak manusia. Nama yang tertera dalam buku intelektual hampir seluruhnya adalah nama-nama besar yang menggubah, atau setidaknya mewarnai sejarah baik dalam kategori sosial, intelektual dan filsafat. Ada Rousseau, Karl Marx, Tolstoy, Ernes Hemingway, Bertran Rusell, Sartre dll.

Jika menjelajahi dunia intelektual kita akan mudah menemukan nama di atas, bahkan seolah-olah nama-nama di atas mengepung pemikiran dunia. Tapi sayangnya ternyata dibalik kebesaran nama para intelektual besar tersebut tersimpan perilaku-perilaku yang menyimpang. Perilaku menyimpang para pemikir besar tersebut diungkap oleh Paul Jhonson. Paul Jhonson menempatkan  nama Jean Jacques Rousseau pada urutan pertama. Kita ketahu bahwa Rousseau menjadi nama besar yang mempengaruhi semua pemikiran moderen bahkan nama Rousseau tidak bisa lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya teori-teori kenegaraan banyak terlahir dari pemikiranya, misalnya teori perwakilan politik yang saat ini menjadi model negara di seluruh dunia, bisa dilacak dari pemikiran Rousseau dalam bukunya, Du Contract Sociale.

Tapi siapa sangka, Rousseau adalah laki-laki gila dalam definisi yang sebenarnya menurut Paul Jhonson. Ia laki-laki yang begitu mencintai dirinya, lebih dari apapun. Bahkan saking cintanya pada diri sendiri ia bahkan membuang semua anak-anaknya ke faundling home sebutan untuk rumah penampungan untuk anak-anak yang tidak diketahui orangtuanya. Kemudian Jhonson mengupas Bertran Rusell membaca kisah Rusell seperti membaca kisah tentang Amerika sendiri sebuah karakter yang selalu tampil bijak dalam segala hal namun juga arogan dan penuh skandal. Ia tumbuh sebagai seorang yatim piatu dan besar sebagai seorang penulis berlian yang tak mengakui Tuhan. Salah satu karyanya yang penomenal ialah Why I am Not a Christian.

Jean Paul Sarte juga tak jauh beda dengan Rusell. Seorang filusuf profesional dan buku-bukunya terjual lebih dari dua juta copies hanya di Prancis saja. Tapi juga ia sangat tergila-gila pada whisky, jazz, perempuan dan pertunjukan cabaret. Lalu kira-kira apa yang sedang dipikirkan ketika melahirkan kredo terkenal cegito ergo sum. Aku berpikir maka aku ada.

Selain nama-nama di atas, masih ada banyak lagi nama besar dalam dunia intelektual yang dikupas tuntas oleh Paul Jhonson. Intellectual, adalah sebuah buku yang membuat kita berpikir ulang tentang arti intelektual modern.

Dari gambaran prilaku di atas kita patut mempertanyakan jika saja para intelektual dunia masih menyisakan prilaku moral yang tidak bisa diterima akal sehat, bagaimanakah dengan para intelektual di negri kita dan sejauhmana intelektual bisa melakukan perselingkuhan dengan politik. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa sebuah institusi yang baik saja, belum tentu mencetak orang-orang baik. Orang-orang yang bermoral buruk tentu saja tidak akan memimpin manusia ke tempat yang lebih baik. Betapapun hebat pemikiranya, betapapun kuat rasionalitasnya. Sebab selain memiliki potensi berpikir yang besar, manusia adalah mahluk yang juga mengalami evolusi prilaku dengan cara keteladanan. Kalau kita sepakati 2014 sebagai The Year of the Judgement tahun berakhirnya mimpi buruk bagi rakyat Indonesia yang bagi elite politik yang hanya mengumbar janji yang tidak bisa menjaga amanah, termasuk menjadi hakim untuk menghukumi parpol dan dan elitnya yang telah melakukan dosa-dosa politik dan menimbulkan keruksakan di muka bumi. Tugas para Intelektual, pemuka agama dan lain-lain untuk melakukan "hisab politik" dan menyampaikan Kebenaran.


Ayipudin
Peneliti di Institute for Research Education, Culture & Information (IECI)
Pengurus Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (PP Hima Persis)





Sumber : http://okezone.com

2 komentar:

  1. huhh,,politik2.. pemimpin tu y MEMIMPIN tapi sekarang pemimpinnya menampilkan pimpinan y buruk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. kita doakan saja semoga pemimpin2 masa depan akan membawa negara ini lebih maju. Amiin,,

      Delete
:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer